Jumat, 07 Januari 2011

Pembangunan Tanpa Pertambangan

SUATU pagi, beberapa warga desa Garungan Kulonprogo berjalan menuju pantai. Tampak tangan kirinya mengapit sebatang rokok, dan sebuah cangkul di tangan kanannya. Seolah penasaran, saya coba menayakan hendak kemana mereka itu? Mengarah ke pantai, kenapa membawa cangkul? Lebih-lebih saya meyakini, bahwa mayoritas penduduk pesisir biasanya bekerja sebagai nelayan. "kami mau pergi ke sawah, mas" jawab salah seorang dari mereka.

Betapa takjubnya saya ketika melihat hamparan ladang yang luas dan berjarak kurang lebih 10 meter dari bibir pantai. Kawasan pesisir selatan kulonprogo memang berbeda dengan yang lain. Di atas tanah yang memiliki kandungan bijih besi tersebut, mereka menanam palawija, cabai, semangka, dan terkadang sawi.

Beberapa warga mengaku bisa mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp.2,5 juta selama dua puluh hari menanam sawi. Melalui sistem pengolahan terpadu mereka berhasil �menyulap� tanah pasir menjadi lahan pertanian. Namun, akhir-akhir ini masyarakat mulai resah. Maklum, sejak tahun 2006 lalu, mereka mendengar rencana pemerintah kabupaten (Pemkab) memanfaatkan kandungan biji besi yang terdapat di sekitar pantai.

Pemerintah vs Rakyat
Sampai kini, Pemkab Kulonprogo masih berupaya merevisi Perda Nomor 1 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Perubahannya yaitu terkait penambahan kata "Pertambangan". Sebagaimana diketahui, pada pemetaan sebelumnya, pesisir selatan Kulonprogo hanya diperuntukan sebagai kawasan pemukiman, pertanian, dan pariwisata.

Selain itu, pemerintah telah melakukan penandatangan kontrak karya (KK) dengan PT Jogja Magasa Iron (PT JMI) pada tanggal 4 November 2009. Meski penyusunan Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) masih dalam proses. Pemerintah tetap melangsungkan KK.

Adapun 30% saham PT JMI dimiliki oleh PT Jogja Magasa Mining dan 70% dimiliki oleh perusahaan asal Australia bernama Indo Mines Limited. Patungan ini akan melakukan operasi dengan sistem tambang terbuka. Dengan estimasi cadangan besi yang terdapat dalam pasir besi sebesar 33,6 juta ton Fe dengan produksi sekitar 1 juta ton per tahun dengan masa operasi sekitar 30 tahun. Operasi penambangan ini akan mencakup luas wilayah 2.987 hektare.

Tak ayal, masyarakatpun menentang sikap pemerintah demi mempertahankan tanah mereka. Sejak mendengar kabar rencana pemerintah, para petani mulai membentuk sebuah paguyuban yang independen dan dijalankan berdasarkan konsensus, Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP).

Pemkab Kulonprogo bergeming, bahwa yang mereka lakukan (menyetujui pertambangan) adalah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, khususnya Kabupaten Kulonprogo. Namun, hal tersebut justru dilakukan tanpa mencoba mendengarkan keinginan warganya. Padahal, sebelumnya pemkab berjanji akan menyerap aspirasi PPLP. Adapun permintaan PPLP ialah menolak aktivitas penambangan, karena selama ini areal pantai tersebut dijadikan lahan pertanian warga.

Merasa didholimi pemerintah, PPLP memobilisasi perlawanan masyarakat pesisir selatan Kulonprogo terhadap pemerintah dan korporasi. Mereka menilai bahwa usaha Pemkab mengubah Perda adalah usaha untuk meloloskan niatnya. Warga juga menentang KK karena belum terbitnya AMDAL. Padahal, sebagaimana tertulis dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982 Pasal 16 berbunyi : "Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah".

Selain itu, penolakan juga disebabkan oleh adanya kekhawatiran bencana yang ditimbulkan seiring rencana pembangunan pabrik di kawasan tersebut. Sebagaimana diketahui, di bijih besi yang terkandung di pasir juga menggumpal dan membentuk gumuk pasir. Gumuk pasir berguna untuk meredam getaran saat terjadi gempa. Jika pasir tersebut dikeruk hanya untuk diambil bijih besinya, sama halnya menghilangkan fungsi dan mendatangkan musibah. Adapun bencana yang akan muncul ialah abrasi (pengikisan) pantai dan intrusi (penerobosan) air laut ke darat.

Babel: Sebuah Pelajaran
Berbeda dengan kulonprogo, kondisi lingkungan di Provinsi Bangka Belitung kini sangatlah memprihatinkan. Berdasarkan informasi dari Kompas, Senin (17/5) lalu menyebutkan bahwa perairan yang menjadi kawasan pernambangan umumnya airnya berwarna lebih gelap. Sedimentasi tanah menutup dan mematikan terumbu karang. Setidaknya, 40 persen terumbu karang di perairan Bangka Belitung hancur lantaran penambangan yang terjadi selama puluhan tahun oleh PT Timah. Sebaliknya, alga merajalela dan merusak ekosistem laut. Terutama sejak adanya otonomi daerah.

Kerusakan biota laut di Bangka Belitung juga menyebabkan nelayan beralih profesi menjadi penambang. Hal tersebut bukan tanpa alasan, dalam seminggu melaut belum tentu nelayan bisa mendapatkan uang Rp 300.000,-. Apalagi saat ini semakin sulit mendapat ikan karena ekosistemnya telah rusak. Namun, mereka bisa memperoleh Rp 400.000-Rp 1.000.000,- dari usaha menambang timah.

Akhirnya, kondisi yang demikian mengubah pola pikir masyarakat. Merekapun mulai menggantungkan hidupnya pada timah yang mesih tersisa. Parahnya lagi, kegiatan tersebut dilakukan secara illegal. Bermodal mesin penyedot pasir (ponton), masyarkat melakukan penambangan inkonvensional. Beberapa warga yang memiliki modal, membeli sendiri alat tersebut yang bernilai Rp 35 juta.

Pemerintahpun kini berada pada posisi dilematis dan tak bisa berbuat banyak. Disatu sisi jika aktivitas penambangan ilegal ditertibkan, dikhawatirkan masyarakat akan ramai-ramai mendemo. Hal ini cukup beralasan, mengingat mereka sudah menggantungkan hidupnya pada penambangan timah inkonvensional. Namun, disisi lain jika terus dibiarkan, lingkungan akan bertambah rusak.

Pertanian sebagai Alternatif
Tampaknya, ada yang unik dari pembangunan perspektif pemerintah kita. Menyitir pendapat Emir Salim, bahwa Thailand dan Singupura mengalihkan titik berat ekonominya dari sektor pertambangan timah ke sektor jasa; pertanian, pariwisata, dan perbankan. Hebatnya lagi, pemerintah kedua Negara tersebut menyebutkan bahwa mereka lebih menyejahterakan rakyatnya dari sektor jasa.

Lucunya, sampai kini pemerintah terkesan hanya mengandalkan pertambangan sebagai sektor tunggal. Memang, secara matematis praktek penambangan lebih menjanjikan pendapatan yang lebih tinggi dibanding yang lain. Apalagi bumi Indonesia memiliki segalanya; mulai dari emas, batubara, minyak, gas, timah, bijih besi, dll. Tapi yang perlu dicatat, semua bahan tambang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.

Kasus Kulonprogo kiranya dapat menjadi contoh. Yakni, bagaimana Pemkab lebih memprioritaskan kandungan bijih besi daripada memanfaatkan pertanian yang lebih disukai warga. Maklum, secara matematis pertambangan pasir besi bisa menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sampai Rp. 846 miliar per tahun.

Merujuk pada apa yang telah terjadi di Bangka Belitung, haruskah terjadi kehancuran serupa di tanah Kulonprogo? Memang, keduanya berbeda. Tapi yang perlu ditekankan disini ialah dampak yang akan terjadi. Terlebih pesisir kulonprogo merupakan daerah produktif.

Jika Emir Salim mewacanakan "Babel tanpa Timah" yang didasarkan pada pengembangan multi sektor. pembangunan dalam hal ini mencakup sumber daya yang terbarukan semisal; pertanian, perikanan, peternakan, dan pariwisata. Mumpung belum terlaksana, ada baiknya apabila pemkab kulonprogo mekaji ulang perencaan pembangunannya melalui pemanfaatan hasil tambang.

Maka tak ada salahnya apabila saya mecawanakan hal serupa. "Kulonprogo tanpa Bijih besi" dengan lebih mengoptimalkan pertanian warga yang telah dirintis sejak puluhan tahun yang lalu dan terbukti menyejahterakan. Lebih-lebih pemuda di pesisir selatan kulonprogo menganggap, bertani sebagai pilihan hidup yang menarik.(*)

Lawakan Politik Wakil Kita? (Bagian 7)

Anomali Cuaca dan ‘Perdagangan Karbon’*



Seminggu terakhir, di banyak belahan bumi terjadi anomali cuaca. Seperti yang dialami Australia, cuaca dan udara yang mestinya panas, justru berganti menjadi dingin. Bahkan butiran saljupun turun dan menutup sebagian jalan. Beberapa pakar kemudian menyebutkan bahwa ini merupakan bukti nyata efek pemanasan global. Memang, tidak semua ilmuwan sependapat dan manganggap kesimpulan tersebut terkesan buru-buru.



Namun, melihat apa yang terjadi belakangan, tak salah kiranya jika kita lebih mengamini adanya ancaman global warming. Sepintas, kejadian yang menimpa Amerika-Eropa-Australia tidaklah merisaukan negara kita. Tapi, merujuk pemaparan Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang menyebut perairan kita sebagai ‘mesin cuaca dunia’. Mestinya menjadikan untuk mawas diri.



Terlebih mayoritas negara maju juga menganggap kita sebagai ‘paru-paru’ dunia. Pelabelan tersebut cukup beralasan. Apalagi dengan (masih) adanya hutan di wilayah kita. Sebagaimana diketahui, guna mengatasi perubahan iklim, keberadaan hutan memang tidak bisa dianggap sepele. Fungsinya sebagai penyaring karbondioksida (CO2) diyakini mampu mengurangi emisi gas buang hingga sekian persen.



Duniapun mempercai kita dalam barisan depan menghadapi bahaya pemanasan global. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) membahas perubahan iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sempat digelar di Bali pada 3-14 Desember 2007 lalu. Hasilnya? Indonesia didikung penuh dalam upayanya menjaga sekaligus melestarikan hutan yang tersisa.



Disatu sisi, kita dapat berbangga diri atas apresiasi tersebut. Tapi disisi lain, retorika dukungan negara maju itu juga dapat menjadi bumerang bagi Indonesia. Mengapa demikian?



Sebagaimana kritik Muhammad Ridwan dan Anand Krishna, anggota delegasi Indonesia pada KTT di Bali silam, yang menyatakan bahwa pemerintah kita hanya mengejar dana Rp. 37,5 trilyun yang dijanjikan negara maju.[1] Bahkan kedua tokoh tersebut menilai bahwa isu global warming telah menyediakan sebuah praktek ‘perdagangan karbon’.

Khususnya bagi negara maju sebagai penyedia modal, dan negara berkembang yang memiliki hutan sebagai ‘tukang’. Jadi tak usah heran jika suatu saat nanti negara maju yang merasa membiayai indonesia dalam menjaga hutan meminta suatu imbalan. Seperti meminta ‘jatah’ dari hasil hutan, atau bahkan yang lebih parah, mereka menjadikan hutan kita sebagai penyedia bahan baku bagi mereka.



Anomali cuaca kali ini, kiranya mempertegas posisi Indonesia bagi dunia. Sepantasnya, jika kita mulai berbenah. Sebab, permasalahan lingkungan bukan hanya masalah satu wilayah saja. Selain bertugas mengurus hutan sendiri, pemerintah juga harus lebih berani mengampanyekan penanaman pohon kepada negara maju.

Jadi, kita tidak melulu ‘mengemis’ pendanaan pengurusan hutan. Tapi juga mengritik negara maju sekaligus penghasil karbon untuk punya hutan. Bukankah alangkah lebih adil, apabila setiap negara di belahan bumi memiliki hutan masing-masing?







[1] Dana tersebut disinyalir untuk kepentingan pemilu 2009. lihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Perubahan_Iklim_Perserikatan_Bangsa-Bangsa_2007 diunduh 29 desember 2010 jam 22.00 wib



* Rumah Pantarhei, 29 Desember 2010 I 23.30 WIB

Sesingkat Pernah

pernah mata ini memandangmu...
namun seringkali ia menyerah
terkadang pasrah...

pernah telinga ini mendengarmu
namun ia selalu luluh
tak jarang sayuh...

getaran-getarapun muncul menantang keberanian
tampilkan kejantanan...

entah apa yang bisa kuatkan
bahwa kau masih dalam ingatan...




karangwuni,16 des 2010 | 03.35

Aku Bermimpi ‘Mencuri’ dari-MU, tapi Takut-Malu*

Kunyalakan batang rokok terakhir, rokok yang baru kubeli siang tadi. Ya, seperti biasa, ketika uang sudah pas-pasan aku selalu membeli rokok itu. Rasanya yang agak mirip Djarum Super, harganya juga murah. Bintang Biadab! Seorang temanku menyebut rokok itu. Memang bukan tanpa alasan ia namai begitu, karena saat dihisap, tenggorokan kadang terasa serik. Tapi aku tak peduli, yang penting hasrat merokok terpenuhi.



Sembari merokok, kulihat pemandangan hijau di samping kontrakan. Padi yang sebulan lalu ditanam petani, kini mulai tumbuh. Cukup lama aku menikmati ketenangan itu, sebelum akhirnya, “Krucuk-krucuk” suara perutku mulai mengingatkan bahwa sebagai raja, aku telah lupa untuk memberinya makan.



“Hssss…. Ah…” kuhisap dalam-dalam rokok yang masih seperempat batang, sampai-sampai tak sebanding antara yang kumasukkan dan yang aku keluarkan. Menipu! Hal itu selalu aku lakukan untuk meredam pemberontakan asam lambung yang tak sabar untuk menerima asupan agar oksidasi berjalan lancer. Aku katakan padanya bahwa tak ada bisa aku masukkan selain asap!



***

Lama aku merenung, berpikir tentang bagaimana mencari uang. Sebagai mahasiswa semester akhir, aku merasa malu untuk terus meminta biaya pada orang tua-apalagi sekarang aku sudah melewati batas studi. Belum lagi keempat saudaraku di rumah, mereka juga butuh biaya pendidikan.



Disela-sela lamunan, aku teringat kata ustadzku semasa Tsanawiah dulu. Menurut beliau, Tuhan adalah maha kaya, Maha pemilik segalanya, pemberi, Maha pengabul do’a, dan Maha dari segala Maha. Lalu, akupun berhayal untuk ‘mencuri’ apa yang ia punya. Agar aku bisa kenyang, membiayai adik-adikku dan meringankan beban orang tua. Namun, bukan berarti aku ingin menjadi atau merebut posisi Tuhan, karena menurutku itu berat-yang tugasnya mengatur seluruh makhluk yang ada di bumi. Setidaknya dengan hasil ‘curian’ kepunyaan Tuhan, aku malah bisa leluasa mengabdi kepadanya.



Buru-buru aku tepis pikiran itu, dalam hati kecil aku takut ‘dicap’ sebagai orang yang kafir, laknat, atau apalah yang mungkin bisa melegalkan sebagian orang untuk berucap, “Halal darahmu!” Kemudian aku teringat kembali penjelasan sang ustadz, bahwa semua ciptaannya sudah dijamin rejekinya. “Jangankan manusia, nyamuk saja sudah dipenuhi rejekinya” papar ustadzku itu.



“Hmm.. masa iya?” seakan tak terima, angan-anganku kembali melanglang buana pada kejadian yang terjadi satu tahun belakangan. Tepat ketika aku mulai merintis usaha ternak gurame-yang akhirnya gagal karena hanya sebagian yang hidup dan yang lainnya mati. Akupun rugi besar! Okelah, memang ini baru pertama kali. Tapi bukan berarti sebelumnya aku tidak belajar bagaimana cara berternak gurame. Toh aku juga sudah memperhitungkan dan mencari patner kerja sebelum memutuskan untuk terjun berternak.



Selang bebeberapa bulan, aku tak patah arang dengan banting setir berdagang pakaian batik. Bermodal uang pinjaman, aku dapatnya barang dari salah satu kenalan di tempat kosku dulu. Setiap hari aku harus menjajakan dagangan dari teman satu ke teman yang lain, dari rumah kerumah.Tetapi rata-rata dari mereka beralasan “Maaf mas, harganya kemahalan!” dan tak jadi beli. Padahal kalau boleh jujur, sebenarnya aku hanya mendapat untung Rp 2000 per biji jika terjual. “Masa iya kemahalan?” gerutuku dalam hati.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, aku tak ingin gagal lagi dengan merambah pasar online. Konon, kata seorang teman, akan ada banyak peminat jika berbisnis di dunia maya. Apalagi semenjak maraknya pengguna jejaring sosial.



***

Terhitung sejak mendaftar di salah satu jejaring sosial, aku semakin asyik menawarkan barang-barang dagangan. Kadang tak terasa bahwa aku telah manghabiskan banyak waktu di depan komputer yang dikoneksikan dengan internet. Akupun sering bolos kuliah, dan selalu lupa pada kewajibanku sebagai seorang muslim-sholat lima waktu.



Hingga suatu hari, aku kedatangan tamu yang sebenarnya tak kurapkan. Mereka adalah tiga orang teman yang meminjami uang modal usahaku. “Hey, katanya mau kau bayar sekarang?!!” ucap salah satu dari mereka. Dengan raut muka serius, mereka serasa membuatku mati lemas. Aku ingat, bahwa seminggu yang lalu telah berjanji untuk melunasi hutang. saat itu aku yakin bisa mengembalikan uang mereka, karena sedikit demi sedikit aku sudah bisa menyisihkan sebagian keuntungan bisnis onlineku. Namun, tiga hari setelah berjanji aku tertimpa musibah, yaitu ketika ibu pemilik rumah juga menagih uang kontrakan yang telat sebulan.



Alhasil, uang yang tadinya mau aku pakai untuk pelunasan modal usaha, justru digunakan untuk pembayaran kontrakan. “Hayo, jangan menghindar lagi! Selama ini kau juga jarang kelihatan di kampus!” umpat yang lain. “kita juga lagi perlu! Sebentar lagi ujian semester, besok hari terakhir pembayaran ujian.” lanjutnya. Akupun memaklumi keadaan mereka, karena sedianya uang yang selama ini aku putarkan dalam usahaku adalah uang kuliah mereka. Akhirnya, akupun terpaksa menjual barang yang selama ini menjadi penyanggah bisnisku; seperangkat komputer dan modem.



***

Tepat pukul 17.41 adzan maghrib berkumandang, akupun tersadar dari lamunan. Sebuah perjalanan melintas waktu setahun yang dikemas hanya setengah jam. Anak-anak kecil dengan riang berjalan menuju masjid yang letaknya tak jauh dari kontrakanku. Sebenarnya aku malu pada mereka, karena sampai saat ini aku masih enggan untuk menunaikan sembahyang.



Setidaknya, dalam diriku kini berkecamuk perasaan malu dan takut. Ya… disatu sisi aku merasa malu untuk mendekat pada-NYA, karena terkesan hanya merapat pada-NYA disaat butuh. Namun disisi lain, hal tersebut justru menunjukkan kesombonganku pada-NYA. Sebuah keangkuhan yang menunjukkan seolah aku bisa bertahan hidup tanpa bantuan-NYA.







Kutupatran, 17 Oktober 2010 I 01.25

*Kisah ini adalah fiktif, adalah sebuah kebetulan apabila terdapat kesamaan karaktek pelaku.

Tipe Orang Berdasarkan Panjang Jarinya

Palmistry merupakan metode konsultasi, dengan referensi tertentu untuk membaca garis tangan. Ilmu ini sudah ada sejak 3000-tahun dan berasa dari India dan Cina. Di India dikenal dengan istilah Hast Samudrika atau Lautan Pengetahuan. Disebutkan demikian karena melalui garis tangan dapat diketahui informasi berharga berupa beberapa hal seperti keuangan, kesehatan, watak, jodoh dan lain lain. (http://www.gemintang.com/)
Namun, sekilas melihat beberapa teman sedang asyik memandangan tangannya, iseng-iseng saya merumuskan tipe orang berdasarkan panjang jarinya. Ok, berikut ini adalah beberapa tipenya:

1. Jempol panjang.
Bersyukurlah orang yang berjempol panjang. Kenapa? karena biasanya orang berjempol panjang ialah orang yang suka memuji. "Hmmm... Bagus!" kalimat ini seringkali diucapkan oleh orang dalam memuji. DAlam dunia facebook sendiri, terdapat pilihan 'Like' jika kita menyukai sesuatu, entah itu status atau apapun.

2. Telunjuk panjang.
Pernahkan seorang atasan menyuruh anda? Nah... coba perhatikan,biasanya ketika menyuruh ia juga mengacugkan jari telunjuknya. Begitulah, jari telunjuk seringkali dipakai untuk menunujuk yang kadang juga berarti perintah. Bukan itu saja, si panjang telunjuk juga bisa menjadi navigator ulung. Saat kita bertanya pada orang tentang arah, orang yang ditanya dan kebetulan tau, pasti akan bermain dengan jari telunjuknya berdasarkan arah yang hendak dituju oleh sang penanya. Selain itu, jari ini juga berarti lepas tanggung jawab. Mengapa? ya, karena biasanya jari tengah juga sering dipakai untuk menuding orang lain.

3. Tengah panjang.
Inilah jari kekecewaan. Mengapa begitu? saat kita sedang bermasalah dengan seseorang, tanpa segan kita mengacungkan jari tengah. Mulutpun tanpa ragu menafsirkan acungan jari tengah sebagai, "Fu**k". Bagi anda yang berjari tengah panjang, bisa jadi ini adalah peringatan. Sebab, akan banyak yang tersakiti apabila anda sering menggunakannnya sembari menunjuk orang.

4. Manis panjang.
Bergembiralah orang yang berjari manis panjang. Tau sebabnya? ya karena tangan anda bisa memuat cinicin lebih banyak daripada orang yang berjari manis pendek. Artinya, kesempatan anda untuk berpoligami juga besar. Selain itu, anda juga bisa menjadi dukun ataupun paranormal. Hal itu tak lepas dari banyaknya cincin yang bisa anda kenakan di jari ini.

5. Kelingking panjang.
Pernah melihat anak kecil sedang bermusuhan? Tepat sekali! sebelum bermusuhan, anak-anak biasanya mengacungkan jari kelingking. Hal ini bisa saja terbawa sampai dewasa, sehingga seseorang lebih senang memandang orang lain sebagai pesaing, atau musuh yang harus dikalahkan. Tapi, tunggu dulu, ketika berbaikan, anak kecil juga menggunakan jari ini. Jadi, bisa dibilang jari ini adalah jari permusuhan dan persahabatan.

Nah... Setelah membaca tulisan ini, termasuk yang manakah anda?


Nb: Tulisan ini hayalah gur(a)uan, sehingga tanpa melakukan penelitian sebelumnya. Bila komplikasi berlanjut, hubugi psikolog terdekat.

Lawakan Politik Wakil Kita? (Bagian 6)

Lika-Liku Drama Markus

Susno duadji, mantan Kabareskrim mabes Polri ibarat aktor dalam sebuah drama. Sebagian penonton menganggapnya bak tokoh protagonis, karena keberaniannya membongkar borok institusi yang menghidupinya. Tak hanya itu, berdalih ingin menegakkan kebenaran, kerap kali ia tampil di hadapan media tanpa rasa takut sedikitpun.

Susno, memang sosok kontroversial yang seringkali sikap dan pernyataannya mengundang reaksi dari masyarakat. Mulai dari analoginya tentang perseteruan Polri dengan KPK yang bagaikan pertarungan ‘cicak’ versus ‘buaya’. Lalu, pertemuannya dengan Anggodo Widjojo di Singapura, padahal nama tersebut adalah buronan KPK. Belum lagi penangkapan dua petinggi KPK oleh Bareskrim, badan yang dipimpinnya. Kemudian, kesaksiannya dalam persidangan kasus Antasari Azhar. (Kompas, 14 Mei 2010) Hingga perseteruannya dengan Syahril Djohan yang kini malah membuatnya menjadi tersangka.

Cerita dimulai ketika Susno menuding adanya persekongkolan Polri dengan Dirjen Perpajakan dalam penanganan kasus. Lantas lahirlah Gayus Tambunan yang dikenal sebagai makelar kasus (markus) yang merugikan negara hingga miliaran rupiah.

Belakangan, pengungkapan adanya markus kian menyeret beberapa petinggi Polri. Ia menyebutkan, bahwa sejumlah jenderal dituding terlibat perkara pajak senilai Rp.25 Miliar. Kasus lain yang dibeberkan Susno pada publik ialah dugaan adanya makelar dalam penanganan perkara penggelapan PT Salmah Arwana Lestari. (Kompas, 14 Mei 2010)

Namun, tak sedikit pula pemirsa yang menganggap Susno sebagai tokoh antagonis. Sebagai mantan orang nomor satu dalam penangan kasus kriminal di Indonesia, kiranya muncul pertanyaan, “kenapa baru sekarang ia membeberkan kasus yang terjadi di masa ia menjabat?” Bahkan kini Susno dinyatakan sebagai tersangka lantaran dituduh turut menerima suap.

Dramapun berlanjut pada penangkapan Susno oleh Polri. Namun, hal tersebut mengesankan seolah-olah Polri setengah hati menegakkan keadilan. Sebab, setelah ditetapkan sebagai tersangka, konsentrasi Polri tidak lagi pada pengakuan-pengakuan Susno yang mestinya diproses. Tapi, lebih pada pengusutan tuduhan keterlibatan Susno sendiri. Ini berarti sama halnya Polri berupaya membungkam Susno serta mengamankan oknum-oknum yang mestinya terlibat markus.

Layaknya sebuh pementasan, kadang kala kisahnya malah membuat penonton bingung. Terlepas dari mana kita memandang sosok Susno Duaji, yang lebih penting ialah pemberantasan mafia kasus dalam tubuh Polri. Penetapan mantan Komjen berbintang tiga itu kiranya menjadi sesuatu yang terburu-buru. Hal ini bisa saja membuat markus-markus yang bersembunyi di ketiak kepolisian masih merasa aman.
Mestinya, Polri membiarkan dulu Susno ‘mengoceh’ biar semakin banyak nama yang disebut. Jadi, saat susno selesai, barulah kepolisian menjaring anggota-anggotanya yang berbuat menyimpang, sekaligus mereformasi total. Toh, Susno sendiri nanti juga bisa saja terseret jika memang benar ia sendiri terlibat. Kecuali bila Polri menganggap drama Susno hanyalah dongeng, yang bersifat fiktif dan tak perlu ditanggapi. Akhirnya, penontonpun kecewa.


Kuturaden, 18 Mei 2010 I 21.30

Sisa Tawa Hari Kemarin

Malam tadi (17/5) berbekal uang dua puluh ribu yang tersisa di saku celana, aku pergi ke kampus. Niatnya ingin nongkrong dan ngobrol-ngobrol dengan kawan-kawan 'penjaga' kampus, tapi aku urungkan niat karena ada acara rutin. Jarum jam menunjukkan pukul 18.15 WIB. Ya, ini adalah malam 18 di bulan mei. Tanda ada kumpul-kumpul rutin di Kasihan, Bantul.

Akhirnya aku berbelok ke kost teman dan mengajaknya pergi ke Bantul. Sekitar sejam aku dikost temanku itu. Nonton TV, internetan, dan mandi. Kemudian kitapun berangkat mengendarai mio merah berplat E. Tanpa jaket, kulaju motor dengan kecepatan 60 KM/jam.

Sekitar dua puluh menit perjalanan menuju kasihan. Setelah memarkir kendaraan, terlihat orang-orang sudah berkerumun mendengarkan guyonan yang disampaikan cak nun. Seolah tak mau ketinggalan, kami segera mencari tempat yang enak biar bisa mendengarkan juga.

Salah satu 'dagelan' cak nun malam itu ialah tentang keharusan bekerja keras dalam hidup. Menurut cak nun, selama ini sebagian besar masyarakat Indonesia telah keliru dengan beranggapan bahwa kita mesti mencari rizki dalam hidup. Hal tersebut lantas membuat manusia menghalalkan segala cara dan berpikir instan.

Lalu, lelaki bernama asli MH Ainun Najib itu melanjutkan, jika kita berasumsi kita mencari rizki dalam bekerja, sama halnya kita memungkiri tanggung jawab Sang Pencipta. Jadi, rizki sebenarnya hak yang mesti kita peroleh. “Lha gusti Alloh nggawe menungso, mosok ra tanggung jawab?” tanya cak nun pada hadirin. Terlebih ketika kita bertuhan dan mewujudkannya dengan menjalankan perintah-Nya yang salah satunya ialah bekerja keras.

Ia juga menilai, bahwa pola pikir seperti itu tak lepas dari apa yang diajarkan dalam pendidikan kita selama ini. “Hak dan Kewajiban, kuwi kuwalik. Kudune Kewajiban dan Hak” jelas cak nun. Dari sesuatu yang terbalik tersebut akhirnya kita terbiasa menuntut hak dulu sebelum menunaikan kewajiban.
Lucunya, negara justru memakai pola pikir yang terbalik itu. Contoh sederhana adalah; Pajak. Sebagaimana iklannya yang sering dikampanyekan,”hari gini ga bayar pajak?” Hal ini menunjukkan, bahwa negara sangat rajin menuntut haknya (menerima pajak), sedangkan kewajiban menyejahterakan rakyat terkesan nol. Untuk itu, ia mengandaikan dunia menjawab kelanjutan iklan tersebut,” apa kata dunia? Yo ra popo, emang kate lapo?” pungkas cak nun disusul tawa para hadirin malam itu.

Perumpaan lainnya ialah, TKW. Selama ini para perantau seringkali mengalami nasib memprihatinkan di negeri orang. Bahkan tak jarang mereka dianiaya majikannya, tetapi sangat minim perhatian pemerintah pada mereka. Padahal, mereka juga penyumbang devisa negara.

Memang, tadi malam Cak Nun tampil seperti biasanya. Ia selalu mengesankan bahwa di Indonesia, masih banyak 'orang-orang bahagia' di tengah kondisi seperti di atas. Kiranya tak salah pula jika duduk, merokok, dan menertawakan diri sendiri. Toh tak ada aturan yang melarangnya. Itung-itung hiburan gratis daripada mengahabiskan malam untuk hal yang negatif.




Samirono, 18 Mei 2010 I 04.39

Lawakan Politik Wakil Kita? (Bagian 5)

Mengganti Sejarah dengan Sejarah


Beberapa waktu lalu, ketua DPR RI periode 2009-2014, Marzuki Alie mengungkapkan rencana pemugaran gedung dewan. Tak main-main, dana yang dianggarkan sebesar Rp 1,8 trilyun yang dibagi selama tiga tahun APBN. Gedung baru tersebut, direncanakan dapat menampung 700 anggota Dewan. Bangunan berlantai 36 itupun didesain berbentuk huruf U terbalik, menyerupai pintu gerbang dengan tiang di kedua sisinya. Keinginan membuat sejarah ialah salah satu alasan pembangunan gedung tersebut.(Koran Tempo, 4 Mei 2010)

Namun, ada hal menarik jika kita mencoba menoleh pada peristiwa pelelangan benda-benda sejarah yang berhasil diangkat dari perairan utara Cirebon. Nilai barang-barang kuno yang terdiri dari logam, batuan, tanah liat, dan lain-lain tersebut ditaksir mencapai Rp 720 miliar. Pemerintah seolah arogan dengan menganggap lelang artefak yang berumur lebih dari 1000 tahun tersebut sah. Maklum, Indonesia merasa tidak melibatkan diri pada konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air.(Kompas, 4 Mei 2010)

Melihat permasalahan diatas, kiranya muncul pertanyaan “pantaskah sejarah dijadikan alasan dalam pemugaran gedung dewan? Sedangkan benda-benda sejarah malah ‘dijual’ (5/5). Lantas, pertanyaan yang mendasar disini ialah, bagaimana wakil kita memaknai sejarah?”

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno pernah menyatakan “JAS MERAH” yang berarti jangan pernah sekalipun melupakan sejarah. Ada apa dengan sejarah? Hingga kita tidak boleh melupakannya. Menyitir pendapat Asvi Warman Adam (2006:vii) bahwa sejarah bertujuan mengajarkan pada kita sebuah cara menentukan pilihan, untuk mempertimbangkan berbagai pendapat, untuk membawakan berbagai kisah dan meragukan sendiri—bila perlu—kisah-kisah yang kita bawakan. (kata pengantar buku Berpikir Historis? “Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu”)
Selanjutnya, Asvi juga memaparkan bahwa sejarah bukan sekedar nama dan tanggal, tapi menyangkut penilaian, kepedulian, dan kewaspadaan.

Ironis, disatu sisi kebanyakan anggota dewan menyepakati rencana pembangunan gedung DPR RI, meski bangunan yang saat ini baru berusia 13 tahun. Tetapi, disisi lain mereka cuek terhadap warisan sejarah. Disini jelas, bahwa pembuatan sejarah oleh para wakil rakyat justru dilakukan dengan cara ‘membuang’ sejarah. Sangat disayangkan, generasi penerus bangsa saat ini disuguhi aksi wakil rakyat yang berambisi membuat sejarah tanpa menghargai sejarah. Padahal, benda-benda yang ditemukan di perairan Cirebon tersebut merupakan saksi bisu pergolakan bangsa yang kini telah merdeka.

Tampaknya para wakil kita belum bisa mengerti maksud wasiat Ir. Soekarno diatas, dan bangsa lain melihat itu sebagai kelemahan. Tak aneh bila kebanyakan peserta lelang adalah museum-museum nasional negara-negara yang mengerti betul bagaimana dan untuk apa sejarah itu. Sebaliknya, berdalih ingin dikenang dimasa 50 tahun mendatang, anggota dewan justru memaknainya dengan memugar gedung DPR RI.


Kutu Raden, 5 Mei 2010 I 21.45

Lawakan Politik Wakil Kita? (bagian 4)

Keluar Uang Habislah Perkara*


TVone, selasa (6/4) pada acara Opini, memuat sebuah berita singkat nan ringkas di bagian bawah layar kaca, “MA: pengurangan hukuman Ayin karena alasan kemanusiaan.” Sesaat saya terkejut sekaligus prihatin, mengingat Ayin bukanlah narapidana kasus kelas teri.

Wanita bernama asli Artalita Suryani tersebut merupakan orang yang menyuap seorang jaksa dalam penyelidikan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Ayin, demikian ia akrab disapa, sering disebut-sebut sebagai orang dekat Sjamsul Nursalim. Obligor BLBI yang merugikan Negara hingga milyaran rupiah. Bahkan ia juga memiliki rekan dekan kalangan elit pemerintahan.

Sketsa diatas seolah mengesankan bahwa sosok Ayin dapat dengan mudah mengaburkan penyelidikan terhadap penjahat negara. Hingga sampai saat ini, isu skandal BLBI seakan raib ditelan bumi. Lucunya, meski terbukti bersalah melakukan tindak pidana suap ,setelah rekaman teleponnya dengan jaksa Urip Tri Gunawan diputar di persidangan. Ayin hanya didakwa 5 tahun penjara. Padahal, jelas-jelas rekaman tersebut memaparkan fakta terjadinya negosiasi ‘jual-beli perkara’.

Indonesia merupakan surga bagi para koruptor, karena di negeri ini mereka bebas melengang meski dalam penjara, khususnya Artalita Suryani. Kenapa?

Pertama, jeruji besi mestinya menjadi sarana refleksi bagi pelaku kejahatan. Namun tidak demikian pada Artalita Suryani. Sebagaimana hasil inspeksi dadakan (Sidak) yang dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Peradilan di rumah tahanan wanita pondok bambu beberapa waktu lalu. Ternyata ditemukan adanya perlakuan istimewa pada Ayin. Bagaimana tidak, dalam bilik penjara Ayin masih bisa mengendalikan bisnisnya. Ruang sel yang mestinya pengap, justru lebih pas disebut sebagai apartemen. Berhias air conditioner, televisi, karaoke, internet, dan fasilitas mewah lainnya. Bahkan, Denny Indrayana (sekretaris Satgas) dalam acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” minggu (11/1) mengungkapkan bahwa Ayin malah sedang asik melakukan perawatan di kamar bawah ketika sidak berlangsung.

Kedua, perang terhadap korupsi selalu digaungkan oleh pemerintah. Namun, seringkali tidak dibarengi dengan hukuman yang setimpal terhadap pelaku korupsi. Penyuapan merupakan bentuk lain dari korupsi, tetapi sang tersangka hanya diganjar 5 tahun kurungan. Lebih-lebih Mahkamah Agung (Mahkamah Agung) justru memberi pengurangan enam bulan terhadap Artalita Suryani.

Berdasarkan dua alasan diatas, kiranya belum pantas jika kita menyebut diri sebagai negara hukum. Apalagi menyeret-nyeret kemanusiaan saat kita belum bisa memanusiakan manusia. Lantas, tepatkah apabila MA menjadikan dalih kemanusiaan atas pengurangan masa tahanan terhadap Ayin? Mengingat tersangka terorisme bisa langsung diganjar hukuman mati, tetapi koruptor yang juga menyebabkan teror bagi rakyat jelata masih bisa berfoya-foya walaupun di penjara.

Gambaran demikian seolah memperlihatkan sosok Ayin kebal terhadap hukum. Hukum hanya dapat merambah dan berlaku untuk masyarakat bawah. Tak salah kiranya jika ada adegium yang berbunyi,”KUHP=Keluar Uang maka Habislah Perkara.”


KTR, 6 April 2010 I 15.25

* Tulisan diatas pernah dipublikasikan di harian Surya edisi 8 April 2010.

Lawakan Politik Wakil Kita? (bagian 3)


"Pembelahan diri sang buaya"



Sebelumnya, Susno Duaji, Kepala Bagian Resort Kriminal Polisi Republik Indonesia (Kabareskrim Polri) merupakan orang yang disebut-sebut terlibat dalam skandal Bank Century. Dugaan tersebut lantas membuat ia dicopot dari jabatannya. Namun, baru-baru ini namanya kembali tenar. Bukan sebagai public enemy, melainkan tampil dengan jiwa ‘kepahlawanan’. Sampai saat ini, belum diketahui apa yang melatar belakangi Susno cuap-cuap di media massa tentang kebobrokan intitusi yang memecatnya.

Bahkan, ia juga menyebut beberapa nama guna membuktikan keseriusannya untuk menjadi superhero. Tak tanggung-tanggung, dengan berani ia buka adanya markusatau cakar(Calo Perkara-SBY lebih suka menyebutnya-red) dalam lembaga penegak hukum.

Menurut Susno, skenario markus dalam tubuh Polri melibatkan salah satu lembaga penampung keuangan Negara, yakni: Direktorat Jenderal Perpajakan. Nominal yang ditilep mencapai milyaran rupiah. Saya coba memabayangkan, jika beberapa hari lalu televisi dan koran-koran nasional sering menyebut pertikaian antara KPK dengan Polri ibarat ‘Cicak vs Buaya’. Maka kali ini saya menyebut pengakuan Susno pada publik sebagai upaya pembelahan diri sang buaya.
Mengapa demikian?

Pertama, karena jabatan sebelumnya adalah Kabareskrim, Susno memegang peranan penting dalam penumpasan kasus kriminal. Bisa jadi ia tahu banyak adanya korupsi yang melanda negeri ini, termasuk kasus century, Dirjen Perpajakan, dan lain-lain.
Berawal dari banyaknya pengetahuan Susno, mungkin saja ada pihak-pihak yang merasa terancam, termasuk beberapa oknum polri tentunya. Hingga lebih baik ia ‘diusir’ dengan dalih untuk pemurnian citra Polri.

Kedua, pemberhentian terhadap Susno, bisa jadi menimbulkan sakit hati pada yang bersangkutan. Oleh sebab itu, ia memilih untuk mencaplokrekan-rekan supaya bisa menemaninya seandainya ia dibui jika nanyinya terbukti terlibat dalam skandal century.

Nah, kalau sudah demikian, tak hanya cicakyang mampu memotong ekor saat menghadapi situasi terjepit (KPK sepeninggal Antasari Azhar). Tampaknya buayamulai melakukan trik serupa guna meloloskan diri dari terkaman predator. Bahkan bukan ekor yang dipotong, melainkan tangan kiri atau kanannya.



Kuturaden, 30 Maret 2010 I 21.45

Paradok

Gaduh gemuruh malam sunyi
Berulang kali tandakan derap kaki
Tak tahu apa yang diingini
Diam-diam rasuki alam mimpi

Kiranya hendak menakuti
Perlahan sang hamba menata diri
Lancar melantun ayat suci
Musnahkan pilihan lari
Menabuh paradok riuh sepi
....


kuturaden, 5 april 2010 | 01.14

Mengintip Ibu Pertiwi

Silau mata oleh cahaya
Menghujam deras runtutkan bias
Musnah sudah sekat pekat
Ditelan sunyi bersambut pagi

Dalam amuk birokrasi
Terdengar keras tangis ibu pertiwi
Lucuti diri selaksa dihakimi
Tertawalah mereka pelaku korupsi
Cemari hati menyayat perih


kutu asem, 30 maret 2010 | 03.00

Rintih

Krik krik krik
Gerutu Jangkrik mengikik pelik
Ke' ke' ke'
Teriak Toke' mengeke' cekek

Dibawah sorot sinar bulan mereka adukan
Adanya keserakahan pada hamparan pepohonan
Sedikit tanya mereka lontarkan

"Belumkah cukup hutan kalimantan?"

Sedangkan seorang bocah termangu
Menelisik realitas berhias pembenaran
Bayangkan tua tak temukan rasa aman



Samigaluh, 28 meret 2010 | 01.05

Mesrahnya Malam

lalu lalang sibuknya malam
jam segini keluar kandang
wanita jalang cari peruntungan
jual barang demi uang
rias diri undang yang datang

lalu lalang sibuknya malam
muda mudi tiada sungkan
ketuk hati mengumbar sayang
berdua sunyi bermabuk kepayang
tanpa bayang..

lalu lalang sibuknya malam
pinggir jalan suguhkan angkriang
jajakan jajanan mulai tadi petang
lanjut jualan hiraukan kejang
sejanak helakan nafas panjang

lalu lalang sibukya malam
kini aku turut hilang
dalam lalu lalang sibuknya malam



pinggir selokan mataram, 25 maret 2010 | 01.00

Senandung Misteri

Kemilau hadirkan peluang
Sesekali ia harap punahkan bulan
Namun malu tiada tanding
Bila memutar berpaling

iapun berdiri..
Congkak membangkang
Mengembang nafsu
Bersisa tragedi

Keinginan tak ubahnya impian
Biar hancur lebur
"Bakar,ayo bakar!"
Hiraukan panas menjalar

Dalam kepulan asap sunyi
Kesendirian bukanlah hukuman
Tak ada perang
Kecuali misteri...


Kalasan, 21 maret 2010 | 01.00

Perlebar sabar

Mengikat diri pada pekat malam
tiada salah
tak guna
garang meradang

kini yang kutahu hanya kamuflase
coba dimengerti
menerka satu gerak tipu pembenci

Rayu manis senantiasa kelabui
Tega nan tegap
Sesalkan misteri hari ini
Pasrah pada sosok dalam cermin

sudahlah
Luangkan putih
untuk fajar
esok hari...


Taman Lembah, 20 maret 2010 | 00.55

Menyongsong Tahun*

Tahun ini seperti tahun lalu
Kau dan aku tetap satu ruang
Di rumah kosong berisi tiga orang

Tahun ini seperti tahun lalu
Kau dan aku bergumul pemikiran
Terkadang membosankan

Tahun ini seperti tahun lalu
Kau dan aku tertawakan dunia
Sekaligus mencibirnya di belakang

Apakah tahun ini seperti tahun lalu?
Tatkala kau dan aku tak lagi berpandangan
Karena kita beda tujuan

Masihkah tahun ini seperti tahun lalu?
Jika kau dan aku sama pegang pendirian
Lalu kita ribut dalam pertikaian

Kini saatnya menggunting impian
Meneruskan perjuangan
menatap masa depan
Ya…
Semoga tahun ini tak seperti tahun lalu



Kuturaden, 16 maret 2010 I 13.30

* selamat ulang tahun, kawan

Ziarah Masa Lalu*

Mondar-mandir kaki melangkah
Lirak-lirik tatapan mata
Sedangkan penat terus berjaga
Kita ini sama saja


Coba..
Hilangkan memori masa lalu
Membuangnya
Jangan karena ingin melupakan
Tapi tidakkah kita takut tersiksa?


Kebengisan waku bukanlah pada putaran detik, menit, jam
Pun hari, bulan, tahun tak pernah kejam


Siapakah kita dalam sejarah?
Kalau bukan manusia




Kembang merak, 16 maret 2010 I 03.05

*Teruntuk kawan lama yang mulai tak percaya

Lagi-lagi Wanita

Lagi-lagi aku mengutitmu
wanita..

Parasmu
mengajak suka
menghimpun luka
Tingkahmu
jadikan ceria
ciptakan duka


Lagi-lagi aku mengikutimu
wanita..

Ku sapa,"apa kabarnya?"
Kau sahut,"baik-baik saja"
Ku tanya,"kita hendak kemana?"
Kau jawab,"melihat indahnya dunia"


Lagi-lagi aku menyertaimu
wanita..

Ku ingin mendekatinya
Coba ramaikan kesendiriannya
Namun apa daya..
Kini dia ada yang punya


Lagi-lagi aku membuntutimu
wanita..

hanya ini yang aku bisa
menulis kata tanpa makna
Seolah percuma
dan kau anggap sia-sia


Lagi-lagi aku dibelakangmu
wanita..

Bukan kau yang berdosa
Tapi akulah yang salah



Kembang merak, 15 maret 2010 | 04.49
kala maskam kumandangkan adzan.

'sayang'-sayang

sayang
coba sengaja aku jumpa
kau rasa biasa
tak sedikitpun istimewa

sayang
kau hadirkan tanda tanya
akupun kuliah, sama sepertimu
demi cita-cita...

sayang
tataplah betapa
istiqomah ku semai cinta
meski gila
aku bahagia

sayang
sungguh sayang
kau hanya bayang
melebihi angan
sayang...




Kandang 'gagasan', 11 maret 2010

00.15

Lawakan Politik Wakil Kita? (bagian 2)

Hutan belantara, selain dipenuhi berbagai tanaman, juga terdapat bermacam hewan. Kita mengenal adanya rantai makanan. Yakni, sebuah skenario makan-memakan antar binatang yang menjadi awal adanya penyebutan ‘Hukum Rimba’. Dalam aturan rimba mengajarkan, bahwa yang kuatlah yang berkuasa. Bagi yang lemah, mereka dituntut untuk selalu mencari cara agar dapat bertahan hidup.

Konon, menurut seorang pemikir barat, manusia disebut sebagai Zoon Politicon. Hewan berpikir! Jika kita coba telaah, dalam beberapa aspek, hidup manusia memang tak ada bedanya dengan kehidupan yang terjadi hutan. Dimana manusia juga melaksanakan hukum, seperti yang berlaku pada kehiupan satwa.
Lantas, sering kita berbicara soal politik. Tetapi pernahkah kita mencoba untuk sekedar bertanya, apa sih sebenarnya politik itu? Apa mungkin, kata “politik” mengacu pada pemaknaan bahwa manusia merupakan Zoon Politicon?

Namun, melihat situasi politik dari masa kemasa. Mulai dari, ketika orde baru berkuasa. Hingga yang terbaru, saling ‘sikut’ antar parpol gara-gara kasus century. Kiranya dapat meyakinkan, bahwa apa yang kita alami di negeri ini, tak ada bedanya dengan apa yang terjadi di hutan belantara.
Kalau sudah demikian, masih pantaskah kita bangga jika dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia? Entahlah…


Yogyakarta, 8 maret 2010
03.15

Lawakan Politik Wakil Kita?* (bagian 1)

Tiap hari, mulai dari pagi sampai tengah malam, tiada henti televisi memberitakan rapat paripurna anggota dewan di Senayan. Cukup lantang, ketika salah satu grup di facebook berkomentar,"kuwi rapat paripurna opo karang taruna,c*k?"

Saya membayangkan, (mungkin) sebagian besar masyarakat mulai jengah dengan tingkah para wakilnya. Betapa tidak, sampai saat ini kasus bank century masih belum menemukan kejelasan.
Salah seorang kawan pernah berucap, “ini republik dagelan, coy.” menurutnya, hal tersebut didasarkan pada carut marutnya keadaan sekarang. Ia juga memaparkan, bermula dari parpol yang terhitung ada 48. “jika dilogika, bayaknya partai memperlihatkan adanya berbagai kepentingan.” ungkapnya.

Lalu, pada saat pemilu, rakyat yang bingung menentukan pilihan justru disudutkan dengan fatwa haram golput oleh MUI. Hingga rakyatpun memilih, dan terpilihlah calon incumbent beserta kemenangan mutlak partainya.

Namun, belum genap 100 hari, kembali masyarakat disuguhi guyonan politik 'artis-artis' senayan. Pencairan dana talangan senilai trilyunan kepada bank century, ternyata menimbulkan kontrversi. Dengan sigap, DPR membentuk pansus untuk menginvestigasi kasus tersebut. Tak jarang, dalam melaksanakan tugasnya, sesama angota pansus beradu argumen. Lucunya, perang pendapat terkadang melupakan etika politik.

Sebagai contoh, dalam ruang sidang yang terhormat terucap kata, “Bangsat!” Meski muncul pembelaan bahwa kata tersebut merupakan sebuah singkatan sebuah nama (Bambang Susatyo-red). Tampaknya, hal demikian terlanjur menyakiti para pemirsa setia “sinetron pansus century”.

Masih tentang wakil rakyat, ketika masa kerja pansus usai, tugas mereka selanjutnya ialah mengumumkan pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas proses builout. Dan, (lagi-lagi) rakyat disuguhi 'eyel-eyelan' tentang penting-tidaknya penyebutan nama. Bukan itu saja, masing-masing fraksi juga menyipkan lobi-lobi untuk menyelamatkan orang-orangnya.

Terkait masalah century, seorang dosen juga pernah 'sambat'. “Lha iyo mas, padahal dana sudah dikucurkan. Tapi kok tetap banyak nasabah yang merasa belum menerima uang tabungannya di bank centuri?”-kelunya.
Aneh memang, tapi itulah wakil kita?




Yogya, 4 Maret 2010
01.30

*Tanpa bermaksud melanggar UU ITE, tulisan ini hanyalah hiburan dan keprihatinan. Bila ada saran dan kritik, langsung saja sampaikan. hehe

Pujanggakah Aku?

Tak menyangka...

jadi pujangga amatlah sibuk bertelur kata

demi cintanya...

ia-pun tak kuasa


kadang begitu hina

tapi tak soal kala api suka bergelora

itulah serangan pertama

seorang wanita....



Yogya, 27 februari 2010
12.48
di kelilingi tembok bercat hijau (kamare danil)

Bukan Bual atau Rayuan

Hari ini kali pertama aku menyapanya

wajar jika terasa menggoda

kaupun mengira aku becanda

tapi apalah daya

nampaknya aku mulai terbiasa

memandang wajahnya...

kau, "gadis berbaju merah"


^_^
Jogja, 26/2/2010
17:00
di kamar seorang kawan (daniel)

Teko Rai Medun Ati*

Suatu malam di sebuah warung di Surabaya. Seperti biasanya, dua orang pemuda membincang masalah yang 'mengawang-awang' dan selalu tak jelas.

Sebut saja somad, remaja berusia 20 tahun ini memiliki tingkah jenaka sekaligus kocak. layaknya lelaki seumurannya, iapun tak canggung untuk sekedar menggoda wanita-wanita yang melintas di depan warung. Namun, dibalik gayanya tersebut, ia juga senang merenungi hidup. Sehingga, tak jarang pemikirannya dicap 'nakal' oleh teman-temannya.

Sedangkan Abdul, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di surabaya ini merupakan sahabat karib si somad. kesibukannya pada game, seringkali membuatnya bolos kuliah dan menjadikan otaknya sedikit loading jika diajak bicara.
Pada saat bersamaan, terdapat seorang wanita yang membeli gorengan di warung yang sama. Seolah terpukau, Abdul secara tak sengaja membuka obrolan warung kopi (Obwakop) malam itu.

Abdul : "Ayo mad, gelem tak golekno pacar?"

Somad : "Hmmm... lek awakmu sing golekno, aku kurang yakin..." (dengan raut muka mengejek)

Abdul : "Emang seleramu tipe piye?"

Somad : "Aku? yang jelas harus berwajah cantik, manis, bodinya semlehoy, dan yang casingnya... mantablah pokonya..."

Abdul : "Wah mad... serius selera kaya ngono?"

Somad : "Yo serius lah... emange koen, waton ae!!!"

Abdul : "Kamu ga takut tertipu penamilan luar? kalau aku mah, sing penting atine... "(diselingi senyum ketus)

mendengar perkataan Abdul, tiba-tiba somad tertawa terbahak-bahak.

Abdul : "Lapo mad, gendeng koen?"

cukup lama somad mencoba menghentikan tawanya, kemudian iapun meminum seteguk kopi hitam yang dipesannya tadi. lalu, disulutya sebatang rokok yang telah diapit kedua jarinya.


Somad : "Ngene loh bos... atine wong, sopo sing iso ngerti?"(tanyanya dengan mimik wajah serius)

Abdul : "maksudmu?"

Somad : "Lha emang koen ngerti atine wong liyo?"

Abdul semakin penasaran, pertanyaan Somad seolah menjadi teka-teki baginya. belum selesai ia berpikir, somad kembali memberinya pertanyaan yang tak kalah membingungkannya.


Somad : "ga uah adoh-adoh... awakmu iso ngerti ta perasaane bapakmu pas nggepuki awakmu?"

Abdul : "yo jenenge wong tuwo lek nggepuk, berarti lagi mangkel."

jawaban polos Abdul, kembali membuat somad tertawa. Tak lama kemudian, ia mengolok-olok temannya tersebut.

Somad : "goblok!!!"

seakan tak terima, abdul mengucapkan kata-kata khas surabaya. Namun, pikirannya masih bertanya-tanya tentang maksud Somad.


Abdul : "Jan**k!! maksudmu?"

Somad : "duduk ngono je.... ngene loh, iso ae wong tuwo nggepuk kerono sayang nak anak e, yo kan?"

Abdul : "Trus, opo hubungane karo wong wedok sing awak dewe bahas?"

Somad : "Lha... sing koyo ngunu ae koen ga iso mbedakno, ndahneh atine wong wedok?"

Abdul : "Yo sak nggak e teko tingkah laku bendinane, jo..."

Somad : "halah.. t**k!! yo justru iku sing ndadekne masyarakat ga maju-maju..."

Abdul : "Ealah... ko' nyambunge malah sampek kono?"

Somad : "iyo, gampang dibujuk i... ndelok wong apik langsung diomong apik..."
Abdul : "Lha, trus karepmu yo opo? ga oleh percoyo nak wong, ngono ta?"
Somad : "sopo sin ngomong ngono? maksudku, awak dewe mending skeptis ae..."
Abdul : "skeptis opo iku?"

Somad : "Yo ga gampang percoyo nak uwong, kasarane meragukan... ngono, c*k!!"
Abdul : "Oh... iyo yo... podo karo golek cewe. Podo-podo iso ketipune, mending melu kriteriamu yo, c*k?"
Somad : "hahahaha.... iyo, ayu semelehoy iso ae apik, yo iso ae bejad. Tapi yo ngono, enek juga sing elek iso ae apik, lan iso ae bejad!!"

Melihat kawannya yang menggeleng-gelengkan kepala, Somad kembali melanjutkan pemaparannya...


Somad : "sek, awakmu tak takoni. Lha nek koyo ngono, awakmu milih ndi?"
Abdul : "Wah... Lek ngono, aku tak nggolek sing ayu ae yo, c*k!!"

Somad : "Nah... lek urusan ati, cuma pengeran sing ngerti..."

Abdul : "ho'oh, mumpung se enom... golek ae sing uayu ae yo. Paling ga, lek ketipu se enek untunge... kan lek golek atine, podo ae iso ketipu."

Selepas Abdul berlogika (mungkin ae sesat), mereka berdua menghabiskan malam dengan canda tawa hingga tak terasa adzan shubuh berkumandang. Ya... Ya... singkatnya, dari rupa turun ke hati. Dasar, memang begitulah obrolan lepas warung kopi. (Sam's)


* Kisah ini adalah fiktif. Adapun jika terdapat kesamaan nama dan karakter tokoh adalah sebuah kebetulan belaka.

Sidoarjo, 090210
03.00

Keluh Kesah Uki*

‘Hidup adalah Perjuangan’

Selalu terpupuk dalam hati dan tertanam dalam benak tiap insan, bahwa memang dibutuhkan perjuangan dalam hidup. Kata mutiara tersebut juga mengispirasi salah satu grup band papan atas untuk sekedar mendendangkannya. Baru-baru ini, telah nyata didepan mataku, seorang pemuda yang ‘pontang-panting’ setiap hari demi mempertahankan hidup. Sebut saja uki, seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta yang rela menjual beberapa meter sawahnya untuk melanjutkan studi.

Berbekal restu dari kedua orang tuanya, pemuda tersebut ‘nekat’ memulai petualangan intelektualnya menuju kota Yogya. Awalnya, ia menetap sambil bekerja di salah satu kantor Provinsi suatu partai politik (parpol) sebagai tukang bersih ruangan. Tiap hari, ia lalui hidup dengan kuliah dan bekerja.
Setahun kemudian ia memutuskan untuk keluar karena adanya ketidakcocokan antara ideologi partai tempatnya bekerja dengan prinsip yang telah ia pegang teguh. Meski setiap bulan ia menerima gaji dari parpol sebesar tiga ratus ribu rupiah. Maklum, selama Sembilan belas tahun dirinya selalu memperoleh pemahaman agama yang toleran pada kultur serta mengakui empat madzab dalam fiqih. Sedangkan di kantor tersebut cenderung fundamentalis dan ‘kearab-araban’.

Kemudian, seorang dosen menawarinya untuk tinggal dan merawat sebuah rumah milik saudaranya. Tetapi, hanya tiga bulan ia bertahan di rumah tersebut. Wajar, perlakuan semena-mena pemilik rumah yang membuatnya tidak kerasan. Di tempat itu, Uki hidup bak pembantu. Betapa tidak, setiap hari ia harus bekerja secara ‘kasar’, padahal tujuannya datang ke Yogya ialah dalam rangka menuntut ilmu.

Lama Uki hidup ‘nomaden’ dari kos teman ke tamannya yang lain. Hingga pada akhirnya ia mendapatkan kos secara ‘gratis’ dari seorang ibu tua yang telah lama ditinggal suaminya. Bersama dua orang teman, ia melalui hari-hari dengan kekompakan.

Setiap enam bulan, Uki memperoleh beasiswa dari sebuah yayasan sosial milik seorang Bu Nyai sebuah pesantren di Jombang sebesar Rp 600.000. Uang tersebut digunakan untuk menunjang biaya pendidikannya. Walaupun begitu, Uki tetap harus memeras keringat untuk mencari tambahan dana untuk kuliah. Selama ini, ia mencoba bertahan hidup dengan mengamen dan bergabung dengan Serikat Pengamen Indonesia.

Namun, pagi tadi (4/1), sesuatu yang sangat kejam terjadi di kampus yang konon dikenal sebagai kampus kerakyatan. Seperti biasa, mahasiswa diharuskan telah membayar SPP sekaligus BOP sebelum mengikuti ujian akhir. Uki khawatir dan bingung bukan main. Sebab, pada semester kali ini ia tidak memperoleh beasiswa BOP dan ia mengambil 23 sks. Bisa dibayangkan, berapa jumlah yang harus dibayarnya jika per sks dihargai Rp. 60.000. Jadi, bagaimana Uki bisa mengikuti ujian sedangkan ia hanya mampu membayar SPP, itupun dari beasiswa .

Mulanya, ia mencoba untuk meminta dispensasi atau penundaan pembayaran. Tetapi, bukan keringanan yang diberikan oleh kepala staf akademik, melainkan suatu sikap cuek dan ‘kolot’. Sebagai pihak yang berwenang untuk mengizinkan mahasiswa mengikuti ujian atau tidak, dengan tegas mewajibkan Uki untuk tetap harus melunasi BOP.

“Sampean ga ngerti rasane dadi wong ‘kere’? Tak dungakno bar iki sampean dadi wong ‘kere’, ben ngerti rasane.” Umpat Uki yang mengeluarkan kekesalannya kepada ibu kepala staf akademik. Sekembalinya ke kos, ia menceritakan semuanya kepada teman sekosnya. Mulutnya menggerutu, Uki menyesalkan sikap angkuh birokrat pendidikan tempatnya kuliah. Dan memang, “hidup adalah perjuaangan”-tambahnya.


* kisah nyata seorang sahabat.
Mlangi 3 Januari 2010 I 00.00 wib

Andai "Tuhan" punya Akun

tak pernah kosong "share" ini dengan ratapan
tiada henti pula seutas senyum menghias status
selalu ada waktu, untuk sekedar menyapa dan menghujat
disini, tanpa terkecuali...t
tiap anak manusia bebas menelurkan kata, perasaan, gagasan
mengumpat, memuji, mendukung, membenci, mencinta, dan semua ungkapan-ungkapan peristiwa dunianya...

andai Tuhan punya facebook
dan dunia kini telah terbelah...


kampus, 131109
15.00

Pergumulan Tasawuf, Mistisisme, dan Perenialisme

“Kearifan (wisdom, hikmah) tidak hanya dimiliki oleh suatu agama atau ras tertentu, tetapi oleh semua agama dan ras. Siapapun yang memperoleh kearifan adalah seorang sufi, karena tasawuf sendiri berarti kearifan.”-Inayat Khan-

Tasawuf sebagai Salah Satu Tipe Mistisisme
Mistisisme, secara bahasa berarti pengalaman batin, khususnya berciri religius. Dalam mistisisme menekankan dan mengutamakan penghayatan akan Tuhan dalam hubungannya secara langsung. Istilah mistisisme pertama kali digunakan oleh Dionisius Aeropagita, mengacu pada teknik via negativa (jalan negative). Maksudnya, sebagaimana tradisi filsafata barat (positivistik), adanya dualisme materi dan jiwa. Materi diidentikkan sebagai positif, dan jiwa sebagai jalan negatif (spiritual). Menurut Russel, mistisisme pada hakekatnya tidak lebih dari intensitas dan kedalaman tertentu dari perasaan mengenai apa yang diyakini tentang alam semesta. (Russel, 2009:130)

Filsafat mistik memiliki ciri kepercayaan yang digambarkan dalam: Pertama, kepercayaan pada pengetahuan langsung (insight) yang dibedakan dengan pengetahuan diskursif. Permulaan mistik ialah keraguan akan pengetahuan umum dan memberi jalan bagi masuknya kebijaksanaan yang lebih tinggi. Kedua, mistisisme adalah kepercayaan pada kesatuan (unity), dan menolak mengakui pertentangan dan pembagian dimana saja. Ketiga, penolakan pada realitas waktu. Sebagai hasil penolakan sebelumnya, ini merupakan anggapan bahwa semua adalah satu. Artinya, perbedaan masa lampau dan masa yang akan datang adalah semu.

Namun, Sayyed Hossein Nasr menolak istilah mistisisme untuk tasawuf. Alasannya, karena mistisisme mengandung konotasi pasif dan a-intelektual, sehingga tidak digunakan istilah yang sama dalam tasawuf. Dalam kata pengantarnya di buku Kamus Ilmu Tasawuf, Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir, M.Ag menyebutkan, dalam tataran teoritis kajian tasawuf, bahwa karakteristik mistisisme secara global dapat ditandai dengan empat gejala, yaitu:
1. Mistisisme adalah suatu situasi dan kondisi pemahaman dan pengalaman dari semacam ilham dengan tersingkapnya hakikat realitas.
2. Mistisisme hampir tidak dapat diterangkan secara deskriptif sehingga tidak mungkin diinformasikan, karena ia merupakan perasaan jiwa.
3. Mistisisme merupakan kepekaan jiwa yang meletup-letup, serta meninggalkan kesan (persepsi) yang sangat kuat.
4. Bahwa kemampuan seseorang untuk sampai pada tingkat mistikus, datang dari luar dirinya yang merupakan suatu kekuatan supranatural.
Pada lingkup inilah tasawuf dapat dilihat sebagai salah satu tipe mistisime religius yang mempunyai cirinya sendiri. Karena ia dilandasi dan dijiwai dari konsep-konsep yang berasal dari Tuhan. (Totok&Samsul, 2005:3)

Dialog antara Tasawuf dan Perenialisme
Islam sebagaimana dijelaskan oleh Dr. H. Abu Yasid memiliki sistem perpaduan antara dimensi esoterik (‘aqidah) dan dimensi eksoterik (Syari’ah). Tasawuf sendiri, adalah salah satu metode untuk mengantarkan kita pada dimensi esoterik tersebut. Intinya, tasawuf juga mengajarkan pentingnya mengamini keimanan dengan perdamaian. Salah satu ajaran penting dalam tasawuf ialah mewujudkan upaya mencintai Tuhan.

Dalam rangka mendialogkan tasawuf dengan perenialisme, tidak ada salahnya apabila kita menilik pemikiran Iluminasi Syihab al-Din Yahya Suhrawardi. Iluminasi Suhrawardi (pancaran cahaya) digambarkan oleh Kautsar Azhari ialah hasil dialog spiritual dan intelektual yang dilakukan dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain.
Adapun sumber filsafat iluminasi berasal Hermes Agathodemon (dalam islam disebut sebagai nabi Idris). Kebijaksanaan iluminasi ialah aktualisasi otentik “filsafat perennial” (hikmat ‘atiqoh) umat manusia mempuyai sumber awalnya pada wahyu-wahyu ilahi yang diterima nabi Idris, yaitu Hermes. Dengan demikian menjadi “nenek moyang” filsafat.

Kebijaksanaan Hermetik ini kemudian menyebar kepada generasi-generasi selanjutnya melalui dua jalur: Yunani Mesir dan Iran kuno. Cabang pertama hermetisme, setelah berkembang di Mesir kuno, tersebar di Yunani, yang kemudian melahirkan para bijak gnostik seperti Phytagoras, Empedokles, Plato, dan Plotinos. Tradisi ini kemudian dipertahankan oleh Dzun al-Nun al-Mishri.

Cabang kedua Hermetisme Iran kuno oleh pendeta-raja mistik Kayumarth dan berkembang dalam tasawuf Abu Yazid al-Bisthami dan al-Hallaj. Suhrawardi menyatukan dan memadukan kedalam keseluruhan organik eksistensial seluruh unsur penting dari kebijaksanaan Hermetik yang dihasilkan dalam rangkaian perkembangan historisnya.

Agama-agama lain bagi Suhrawardi turut memperkaya pemahaman tentang islam. Ia-pun mempertegas bahwa disinilah letak universalitas islam. Karena mencakup agama-agama lain dalam pengertian esoteriknya. Singkatnya, kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain adalah juga kebijaksanaan perennial dalam islam.


Daftar Pustaka :

- Prof. Mahmud. Abdul Halim, 2002, Tasawuf di Dunia Islam, Pustaka Setia, Bandung

- Russell B, 1999, Russell on Religion (terjemahan : Bertuhan Tanpa Agama), Baehaqi Imam, 2009 Resist Book, Yogyakarta

- Nasr. Sayyed Hossein (editor), 2003, This Translation of Islamic Spirituality: Manifestations (terjemahan), Mizan Media Utama, Bandung

- Nicholson, Reynold. A, 2002, Gagasan Personalitas dalam Sufisme, (suntingan) :Syihabulmillah A, Pustaka Sufi, Yogyakarta

- Drs. Jumantoro, Totok& Drs. Amin, Samsul Munir, 2005, Kamus Ilmu Tasawuf, Amzah, Yogyakarta

- Bagus. Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

- Noer. Kautsar Azhari, 2003, Tasawuf Perenial “Kearifan Kritis Kaum Sufi”, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta

‘Fitrah’ : Peleburan Akal dan Nafsu ?

Malam ini (19/09), langit-langit sudut kota Surabaya dipenuhi percikan kembang api tanda kebahagiaan. Beberapa pemuda dan anak-anak juga tampak bersuka cita mengumadangkan takbir. Idul fitri, ya! Telah jamak dipahami sebagai hari kemenangan.

Namun masih saja tak-ku mengerti, kemenangan seperti apa yang telah diraih pada hari nan fitri ini. Betapa tidak, jika aku berpikir bahwa puasa diartikan sebagai pengekangan terhadap nafsu, maka seburuk itukah nafsu hingga layak ia direpresi, dan kita menyebutnya kemenangan saat berhasil melakukannya?
Sering kali saya medengar bahwa nafsu cenderung mengajak pada kemungkaran, dan sumber kehancuran manusia. Kali ini, aku ragu. Sebab hal itu tidak dialami makhluk lain (hewan). Justru nafsu pada hewan bersifat statis dan dalam rangka menjaga keberlanjutan suatu rantai makanan. Lantas, benarkah nafsu yang membuat manusia tergelincir?

Selama ini manusia cukup bangga pada akalnya, dan akal dipandang sebagai anugerah terbesar. Padahal, akal juga tak lepas dari misteri. Sampai saat ini, pertanyaan tentang apa dan bagaimankah akal itu belum juga terjawabkan.

Pada dasarnya, sebelum menggunakan akalnya, bisa jadi manusia senantiasa dihinggapi oleh nafsunya terlebih dahulu. Mungkin untuk lebih jelasnya, kita bahasakan nafsu sebagai suatu keinginan yang berangkat dari rasa penasaran. Dan kalau memang demikian, apakah nafsu sepenuhnya buruk, hingga layak kita anggap ia sebagai musuh dan harus kita perangi di bulan ramadhan?

Sebagaimana umumnya, kita menganggap orang yang yang berpikir ialah orang yang menggunakan akalnya. Justru saat ini aku menduga, yang mengajak (pemantik) manusia untuk berpikir ialah nafsunya. Hal itu kemudian menjadikan manusia berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain.

Dalam agama, disebutkan tentang adanya pembagian (proses) nafsu. Amarah, lawwamah, dan muthmainnah. Pada titik ini, aku berpandangan bahwa nafsu merupakan suatu keinginan dan sikap penasaran manusia. Terutama pada prosesnya, akal ibarat seorang pengantin yang mengiringi perkembangan nafsu, dari yang terendah (amarah) sampai pada tingkat yang paling tinggi (muthmainnah).

Setelah tiga puluh hari menunaikan ibadah puasa, shalat tarawih, serta tadarus al qur’an. Tanpa memiliki nafsu, aku pikir tak akan ada kegiatan-kegiatan seperti itu di bulan penuh berkah ini. Jadi, maksud kembali fitri di hari yang suci ialah peleburan nafsu dan akal.
Dengan demikian, pada hari ‘idul Fitri, selayaknya kita matang sebagai manusia untuk menjadi seorang muslim sejati. Karena itulah kemenangan!

Surabaya, 20 september 2009 I 00.00

'Hijau' Pandangku

Adzan shubuh terdengar nyaring berkumandang, membangunkan manusia-manusia dari mimpi indahnya kala istirahat di malam hari. Di balik tembok mushola, sesosok priatampak masih asyik dengan tidurnya. Fathul Husain, salah satu penghuni kos Raditya.

Fathul tak lain adalah seorang pemuda yang telah mampan secara usia untuk segera menikah. Namun meski usianya sudah mencapai kepala tiga, sampai saat ini dirinya masih sulit untuk mencari pasangan hidup. Sebagai seorang sales sebuah toko bangunan, Fathul memiliki tanggungan biaya pendidikan adiknya yang masih kecil serta orang tuanya sudah senja dan sakit-sakitan.

Fathul bukan termasuk orang yang anti untuk memiliki seorang kekasih. Kerjaanya yang mondar-mandir untuk menawarkan barang, memberinya kesempatan untuk sekalian melirik-lirik gadis yang berlalu-lalang di sepanjang jalanan kota Yogyakarta. Jarum jam menunnjukkan pukul ½ 2 siang, fathul teringat sebuah janji dengan seorang penjual bahan bangunan yang tertarik dengan barang-barang yang ditawarkan Fathul tempo hari di derah Beringharjo.

Sesegera mungkin fathul memacu motornya, meski jalanan di sepanjang jalan Kyai Mojo tampak padat, ia tak peduli. Seketika itu pula, motor Honda Supra X buatan 1999 miliknya ia paksa untuk menerobos kemacetan. Saking kencangnya, beberapa kali ia hampir menabrak penyebrang jalan. “Woi, lek mlaku alon-alon, dab! Iki duduk dalane mbahmu !”, umpat seorang pemuda yang hampir saja ditabraknya. Seolah tidak memperdulikan, Fathul tetap menginjak gas motornya dalam-dalam, karena waktu sudah tinggsl 10 menit lagi. Sambil menggerutu dalam hati, Fathul berharap pengusaha yang janjian dengannya mau memaklumi seandainya ia tiba terlambat di tempat tujuan.

Jam 2 lewat 15 menit, fathul tiba di pasar beringharjo, tanpa basa-basi ia langsung memarkir kendaraanya di pinggir jalan. Sadar akan keterlambatanya, Fathul langsung berlari ke toko pak Ahmad, pengusaha yang tertarik pada barang-barang yang ditawarkan fathul.
“selamat siang pak, maaf saya terlambat, saya…” ujar fathul sambil…
“wes toh mas, sesok-sesok ojo ngono neh, kulo niki wes nunggu sampean sui.. lek golek rejeki niku kudu disiplin!!.” Cela pak Ahmad dengan kesal atas keterlambatan fatkhul.

Setelah ngobrol dan transaksi berlangsung lancar, fathul kembali menuju parkir motornya. Dengan perasaan senang karena barang dagangannya tetap jadi dibeli, ia hidupkan mesin motornya. Namun, pandangannya terpaku pada seorang remaja di sebuah sudut toko. Tanpa berkedip, ia pusatkan tatapannya pada wanita yang membawa barang-barang belanjaan. Tak lama berselang, seorang penjaga parkir membuyarkan konsentrasinya pada perempuan tersebut.
“monggo ndang mlaku, kang… Mpun katha sing antri ten burine sampean…” tutur petugas parkir.
“Oh.. nggeh mas, ngapunten… ngapunten”, sahut Fathul.
Ternyata petugas parkir memperhatikan tingkah fathul yang terpana pada sesosok hawa di sudut toko, tanpa sungkan petugas tersebut memberi tahu sedikit informasi tentang wanita tersebut.
“asmane Sukma, kang… putrine pak Ahmad sing nggadah toko bangunan niko (sambil menunjuk sebuah toko bangunan di barisan toko-toko pasar beringharjo)…” sambung petugas parkir itu.
“nggeh toh… matur nuwun mas…” timpal Fathul sambil menahan malu karena ketahuan mencuri pandang pada wanita tersebut.
******
Suatu malam, kesendirian menuntunnya untuk berimaji, paras manis dibalut kerudung hijau muda, menambah anggun penampilannya pada waktu itu. Gadis dipinggir toko, benar-benar telah menyelipkan sedikit kesederhanaan dalam memori kecil Fathul. Sambil bersantai, ia menyeruput secangkir kopi yang baru dibuatnya. Sepasang cicak di ujung tembok pun turut mengajak angan-angan Fathul untuk sedikit membayangkan indahnya kisah romantis sebuah percintaan.

Bersambung…. ^_^
Mlangi, 30 sept 2009 I 00.30 WIB
(inspirasi by : mas hasan)

Sang hantu absurd

muak aku pada berhala-cantik
dirinya kini jadi sesembahan
terus...
mewarkan awang di keluasan penalaran...

seringkali kutantang
harapan heroik masa depan
mengalir kubuang semua...

kau..
Bukanlah penawar
kau..
Bukanlah penguat
kaulah..
Asal represi bagi keperkasaan logika
kaulah..
Penandus kehendak itu...

karena kau..
sang hantu absurd


mlangi,190809
22.45

Silau Wanita

wanita-wanita itu...
dalam sekejap...
sekujur tubuhnya menerobos kedua pintu mataku...
cukup lama ia terima jamuan...
matapun mengantarkannya ke showroom otakku...
sembari tetap menatap...
para petugas syarafku mulai merekam sisi erotis wanita-ku...
hingga tak segan melumpuhkan sebagian data rasional-ku...

oh...
wanita-wanita itu...
semakin asyik kau bangun istana dalam logika-ku...
bahkan kaupun tak malu menggali jublang kotoranmu...
semua ada di akal ku...

oh...
wanita-wanita itu...
belum puas kau ributkan ruang berpikirku...
kau malah memaksa...
menerobos pagar paru-paruku...
menggempur jantungku...
dan...
menelusup dalam hatiku...

oh wanita-wanita itu...
tega nian kau kobarkan anarki pada kerajaan 'subjek'-ku...
merusak siklus pertumbuhanku...
serta membunuh keyakinanku...

oh wanita-wanita itu...
salahkah sang pionir yang membiarkan kau bertamu dari awal ???
atau mungkin kau...
sang patrner kesuksesanku...
kelak...


Mlangi-200709 03.15 WIB

Ayo Mendaki!

Lantunan lagu 'Mahameru' dari Dewa 19 terdengar keras ketika aku mulai istirahat menikmati segarnya danau 'ranu kumbolo', kurang lebih seperti ini "Mendaki jalan setapak, berjalan redu menahan berat beban." sontak aku sadar bahwa dalam perjalanan telah melewati rindangnya pohon cemara, bahkan tak jarang sedikit masuk kedalam hutan belantara. Bersama sahabat pencari makna ke”hidup”an.

Tak lama kemudian, aku teringat tentang perkataan salah seorang kawan, "Jurang terjal dan curam bukanlah halangan, erangan hewan buaspun hanya jadi hiburan atau. Kabut tebal bukanlah penghalang untuk tetap melangkah, karena walaupun mata terhijab, perasaan manusia masih bisa memilih antara mana jalan atau mana jurang." Udara dingin memberi nuansa baru tentang kepolosan.

Berjalan, melangkah, mendaki, dan terus berjuang. Itulah cerita heroik yang akan selalu mengiringi para penakluk diri. Ya, mereka yang mencoba meghilangkan “ego” keakuannya dengan naik gunung. Mereka uji diri dengan menjadikan alam sebagai teman. Memang tidak mudah, apalagi jika hal itu dianggap gila. Ketika dunia lantang oleh teriakan janji-janji palsu para elite politik. Saat ucapan terdengar merdu dan banyak orang mulai pandai bernyanyi, membual, merayu dan semuanya omong kosong.

Tidak ada pemandang indah yang dapat kita nikmati di kota. Sudut-sudutya ditumbuhi aneka warna yang lengkap dengan logo munafiknya. Kicauan burungpun terusik oleh kepulan asap kendaraan. Gedung-gedung tinggi bersaing untuk tujuan kebahagiaan semu “uang”. Bersamaan dengan itu, mereka hanya bisa membiarkan seorang anak yang kelaparan mengemis di simpang jalan. Jika sudah demikian, tak ada lagi setitik hati yang tersisa. Manusia kota terjebak dalam bias ke”aku”an. Kepolosan dianggap sebagai sebuah ketertinggalan, tapi tidak bagi mereka yang bermulut besar. Mereka hanya mau bergerak jika ada materi yang dapat menguntungkan.

Agamawanpun tak mau ketinggalan, mereka hanya mencari jejak-jejak Tuhan didalam gereja, masjid, dan tempat-tempat persembayangan suci lainnya. Tak ada kepekaan sosial yang mereka miliki, mereka bunuh ego dengan dalih membela Tuhannya.

Setelah itu semua, hendaknya kita menyadari, bahwa kecerdasan saja tidak cukup membawa keseimbangan. Maka dari itu, bersahabat dengan alam cukup relevan jika dijadikan pilihan dalam upaya mewujudkan keselarasan antara Manusia, Tuhan, dan Lingkungan. Itu semua dapat dimulai dengan kita mendaki gunung!


Ranu kumbolo, 17 agustus 2008