Sabtu, 14 Mei 2011

RUUK, Mau Kemana?

Sejak pertengahan tahun lalu, muncul pro-kontra tentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tak hanya di lingkungan lokal, bahkan isu tersebut juga menjadi pembicaraan tingkat nasional. Maklum, RUUK sendiri sampai saat ini masih menjadi tarik-ulur kepentingan pemerintah daerah (Pemda) dengan pemerintah pusat.
Namun pemberitaan media masa, baik cetak maupun elektronik terkesan menggiring opini publik pada perdebatan pemilihan atau penetapan. Hal ini sangatlah berbahaya. Sebab, akan terjadi pembacaan yang tidak komprehensif pada RUUK itu sendiri.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menarik RUUK pada ranah kontroversi status tanah di provinsi DIY. Sebab, sebagaimana diketahui, di Yogyakarta terdapat istilah Sultanat Ground (SG) yakni tanah milik Sri Sultan dan Pakualaman Ground (PAG) yang dipunyai oleh Paduka Pakualaman.

Tanah DIY sebelum dan sesudah UUPA
Pada jaman sebelum reorganisasi, di daerah swapraja Yogyakarta dan Surakarta tanah adalah milik raja dan ia berkuasa penuh atas tanah-tanah. Sebagian dari tanah-tanah itu langsung di kuasai oleh raja, yang merupakan semacam tanah Domein.[1]
Dengan dikeluarkannya Rijksblad Kasultanan tahun 1918 No. 16 dan Rijksblad Pakualaman tahun 1918 No. 16, maka berubahlah susunan pemerintahan yang diikuti dengan perubahan penguasaan atau pengurusan tanah, pada saat itu dikeluarkan suatu pernyataan "Domein Verklaring" untuk seluruh wilayah kerajaan. Dalam Pasal 1 dinyatakan ketentuan sebagai berikut:
“Sakabehe bumi kang ora ono tanda yektine kadarbe ing liyan mawan wewenang eigendom, dadi bumi kagungane kraton ingsung Ngayogyakarta.”[2]
Pasal ini mengandung maksud pelestarian asas di wilayah kerajaan Yogyakarta, pengertian kata domein mengandung arti sebagai (ke)pemilikan dan pengusahaan. Asas domein yang tercantum dalam Rijksblad tersebut, selanjutnya dipakai sebagai pangkal pelaksanaan peraturan-peraturan agraria di DIY. Sebagai dasar kewenangan bagi DIY sebagai kerajaan Nyayogyakarta untuk mengatur sendiri urusan agraria yakni dengan perjanjian atau politik kontrak yang diadakan setiap adanya penggatian kekuasaan atau pergantian raja di kerajaan Ngayogyakarta.[3]
Tapi, melalui amanah UU No 5 Tahun 1960, atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diktum IV, dan tertuang dalam PP No 6 prp Tahun 1960, PP No 224 Tahun 1961, Kepres No 33 Tahun 1984, dan Perda DIY No 3 Tahun 1984 (Lembaran Daerah no 34/1984) disebutkan bahwa peraturan perundangan tentang agraria di Propinsi DIY yaitu Rijksblad Kasultanan No 16 Tahun 1918 (SG) dan Rijksblad No 18 Tahun 1918 (PAG) sekaligus Perda No 5 Tahun 1954 dinyatakan “HAPUS”.[4]
Selanjutnya UUPA resmi berlaku secara penuh di Provinsi DIY mulai tanggal 1 april 1984. Tak hanya itu, disahkannya UUPA sekaligus menandai berakhirnya dualisme hukum tanah di seluruh Indonesia, termasuk di Yogyakarta.

RUUK: Ancaman atau Berkah?
Melalui draft RUUK yang diajukan[6] , setidaknya terdapat indikasi akan kembalinya peraturan seperti Rijksblad Kasultanan, yakni ketika pemerintah daerah yang diwakili Sultan dan Pakualaman. Mereka dengan mudah mengklaim seluruh DIY adalah tanahnya. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan:
“Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan-urusan pemerintahan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan urusan-urusan istimewa yang ditetapkan Undang-Undang ini.”
Kemudian dijelaskan pada ayat 2d maksud dari ayat 1 yang salah satunya adalah wewenang dalam “bidang pertanahan dan penataan ruang”. Untuk meyakinkan kita akan kembalinya rezim Rijksblad Kasultanan, dapat dilihat pada pasal 9 yang berbunyi:
“(1) Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan di bidang pertanahan
dan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Kesultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan.
(2) Sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Kesultanan mempunyai hak milik atas Sultanaat Grond.
(3) Sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Pakualaman mempunyai hak milik atas Pakualamanaat Grond.
(4) Pengelolaan dan pemanfaatan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat.
(5) Hak milik, tata guna serta pemanfaatan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond diatur dalam Perdais sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Ironis, di tengah upaya menciptakan iklim demokrasi, justru yang terjadi malah sebaliknya. Terlepas dari baik-buruk pemerintahan feodalistik, secara hukum, jelas ini merupakan suatu kemunduran. Lucunya, masyarakat kita sudah terlanjur terjebak pada arus informasi sekaligus tawaran penetapan atau pemilihan, tanpa dibarengi pembacaan menyeluruh terhadap isi RUUK. Namun, masalah tanah kini menjadi perbincangan yang sensitif. Terutama terkait adanya rencana penambangan pasir besi di kabupaten Kulonprogo. Pemerintah seolah terganjal karena sebagian besar warga memiliki sertifikat tanah dan menentang rencana tersebut, sehingga mau tak mau mereka mencoba mencari celah hukum melalui jalur politik.





footnote:
[1]Diunduh dari http://kasultananngayogyakartahadiningrat.com pada tanggal 12 mei 2011 pukul 23.30
[2]Ibid. jika diterjemahkan: “Tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain, adalah kepunyaan kerajaan atau ‘ku’, Yogyakarta”. Penjelasan lebih utuh dapat dilihat dalam buku “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya” karya Prof Boedi Harsono. Hal: 48.
[3]Ibid, Prof Boedi Harsono menyebutkan bahwa tanah-tanah tersebut didaftarkan pada para kawula swapraja dengan hak milik. Namun, pemberian hak milik ini bukan sebagai bentuk pemberian kepastian hukum, melainkan untuk keperluan pungutan pajak tanah, “landrente”. (1999: 56)
[4]“Kertas Posisi Singkat: Masyarakat Pesisir Kulonprogo Melawan Ketidakadilan”, pernyataan sikap dari Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), 2010.
[5]Prof Boedi Harsono, “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya”, Jakarta, Karya Unipress, 1999. Hal: 133
[6]Diunggah dari http://legalitas.org pada 2 april 2011 pukul 10.00