Rabu, 23 Februari 2011

Pesantren di Persimpangan Kultur dan Modernitas


Pagi itu segerombolan anak kecil terlihat bersemangat, sambil bergegas dan menggendong tas ia langkahkan kakinya menuju sebuah sekolah dasar (SD) yang lumayan jauh. Pun demikian ketika aku siratkan pandangan pada jalan di tengah-tengah sawah kampung mlangi, terlihat beberapa santri juga mulai berangkat ke sekolah. Umumnya mereka berangkat dengan mengayuh sepeda, khas suasana desa. Itulah pemandangan pagi setiap hari (kecuali minggu) di kampung Mlangi yang dikenal sebagai kampung santri Yogyakarta (selain Krapyak).
Mungkin nuansa serupa juga sering terjadi di daerah-daerah yang memiliki kultur pesantren. Memang saya sendiri dulunya juga pernah nyantri, dan merasakan aktivitas tersebut. Seolah menginspirasi, tiba-tiba terbesit tentang pemaknaan kata “santri” dalam pemikiran saya. Dalam kamus ilmiah popular karangan tim Prima Pena, santri ialah murid dari kyai (ulama), sebutan untuk siswa pondok pesantren. Namun, para santri saat ini dirasa perlu juga menyesuaikan tuntutan zaman.  Jika dulu mereka hanya mengeyam pendidikan ilmu agama (ngaji), kini mereka juga diharuskan menguasai ilmu-ilmu umum yang secara eksklusif diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah.

Dikotomi terhadap Ilmu
Adanya dikotomi ilmu umum dan ilmu agama tak lepas dari pengaruh modernisme. Modern didefinisikan sebagai semangat (elan) yang diandaikan ada pada (dan menyemangati) masyarakat intelektual sejak zaman renaissance (abad ke-18) hingga paruh pertama abad ke-20. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progress-semangat untuk meraih kemajuan-dan humanisasi manusia. (Abidin, 2006:238)
Sebagaimana telah mafhum, bahwa agama didasarkan pada keyakinan atas wahyu dan instuisi. Ilmu umum memiliki sumber yang berbeda, yaitu pada rasionalitas manusia. Pada zaman modern saat ini Max Weber pun juga mengingatkan perlunya penekanan rasionalitas dalam pembangunan dan teknologi manusiawi (“rasionalitas nilai” dan “rasionalitas tujuan”). Sehingga bagi beberapa kalangan pembaharu agama, menganggap perlunya pengembangan pola pendidikan pesantren dengan juga memberi ruang pada rasionalitas. Hal itu dapat kita lihat pada sebagian pondok pesantren juga terdapat sekolah umum (entah itu tingkat pertama atau bahkan juga atas).
Di satu sisi, transformasi pola pendidikan pesantren dari salaf menuju modern, dapat kita apresiasi secara terbuka (kecuali beberapa pesantren yang masih memegang tegung status salafiahnya). Hal itu tak lepas dari penobatan pesantren sebagai tempat pembelajaran nilai-nilai agama (moral) akan dapat memberikan sumbang asih dalam proses kemajuan bangsa.
Tetapi, pemberian ruang pada rasionalitas, bukannya tidak memunculkan masalah. Apalagi jika pesantren yang merupakan basis pendidikan agama juga mulai melakukan hal serupa. Karena produk  rasionalitas (ilmu umum, untuk selanjutnya dikhususkan pada sains) dapat melawan agama kalau dia bersifat materialistis. Prof.Louis Leahy mendeskripsikannya sebagai berikut. Sesuai dogma rasionalis, yang memandang intelegensi manusia sebagai ukuran seluruh inteligibitas, sehingga roh manusia sendiripun direduksikan sampai dimensi ‘ilmiah’ saja. Hanya ilmu positiflah (kimia, fisika, astronomi, dll) yang mampu memecahkan segala masalah dan memberikan jawaban yang memuaskan akan segala tuntutan inteligibitas.(Leahy, 1997:24)

Pergulatan Eksistensi para Santri
Jika hal tersebut terjadi, dapat memunculkan kekhawatiran bahwa ‘santri’ juga dapat mengalami krisis eksistensial. Seperti manusia modern pada umumnya, mereka mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan legitimasi hidup, serta mengalami keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri. (Bagir, 2005:54)
Sebagaimana dijelaskan oleh Kierkegaard, sumber permasalahan eksistensi manusia sesungguhnya terletak pada masalah kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan yang diperjuangkan bukanlah mendatangkan sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, kebebasan justru memunculkan rasa cemas dan gelisah atas pilihan-pilihanya jika nanti mengecewakan, menyakitkan atau bahkan membahayakan. Maka dibutuhkan suatu kebijaksanaan tertentu agar bisa mengurangi atau meminimalisir resiko seperti itu.(Abidin, 2006:147) 
Akhirnya, pesantren dirasa perlu membuat suatu perumusan pemahaman agama yang dapat mengintegrasikan secara utuh dan tanpa kompromi antara visi ilahi dan visi manusiawi. Jika dalam bahasa filosofisnya, ialah membentuk manusia yang sadar dan dapat berada pada posisi eksistensi religius.


Mlangi, 17 september 2009 I  07.00

Rabu, 02 Februari 2011

Sepotong Kenangan

untukmu diam dan senyap...
rantai waktu senantiasa menghantui
tak terkejar dilalap hari
bungkus ingatan nyanyikan sepi

seorang kawan berlalu-lalang
suguhi kisah perihal masa depan
katanya akan indah pada saatnya
peduli usaha hiraukan gagal

ini bukanlah terusan
cari-cari alasan sampingkan beban
biarlah semua (masih) tersimpan
tanpa bosan tiduri pecahan
senyumnya yang seputih awan

Lalu bangun kusebut dia "harapan"

-penjagamalam-
kuturaden, 1 Februari 2011 I 17.30 wib